Pengambil alihan wewenang label halal dari MUI ke
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama RI merupakan kebijakan yg sudah benar.
Ormas agama tidak boleh mengelola badan usaha strategis bernilai triliunan rupiah yg bisa membantu pemasukan negara bukan pajak.
Lagi pula, tak ada pertanggungjawaban & laporan yg transparan dalam proses menghalalkan produk melalui MUI selama ini.
Skandal keuangan dan dugaan pemerasan para pejabatnya di unit MUI ini juga telah terekspos luas yg merusak citra alim ulama & lembaga keIslaman Indonesia .
Tantangan yg mendesak pada lembaga yg baru dibentuk ini adalah kemudahan proses pengurusan sertifikat serta penanganan & pengelolaan anggarannya yg seharusnya transparan.
Label halal harus membantu UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) - sebisa-bisanya gratis atau tidak membebani ,juga mendapatkan dukungan (kontribusi) dari usaha yg menyediakan konsumsi untuk kelas bawah ,menengah dan atas.
Ribuan jenis & jutaan ton produk setiap tahun mendatangkan pemasukan negara bukan pajak yg tak sedikit. Triliunan rupiah. Bisa menambah kas negara - yg selama ini masuk ke kantong MUI.
Di sisi lain, sumber pemasukan negara baik pajak maupun non pajak berpotensi rawan korupsi & rentan penyalahgunaan wewenang.
Skandal korupsi bisa menimpa siapa pun & di instansi mana pun juga di MUI & Kementerian Agama.
Pejabat, ulama & politisi yg paham agama : dari lembaga agama, partai berbasis agama & pejabat di Kementerian Agama RI - terbukti banyak yg korupsi.
Itulah tantangan sertifikasi halal di
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) lembaga baru di Kementerian Agama kini.
Regards,
R. Arif Yovi Sutoyo.
Lecturer Kajian Stratejik
No comments:
Post a Comment